Nyebar Godhong Kara . . .

Resan Gunungkidul

"gegandhengan-rerentengan gugur-gunung sambat-sinambatan" menjaga dan melestarikan "resan" (pohon penjaga), sumber-air (kali, sendang-sumber, beji, sumur, telaga dan keluarganya), gunung-goa, satwa, serta unsur kebumian dan ilmu pengetahuan Gunungkidul lainnya
SALAM-RESAN SALAM-LESTARI!

Glompong dan Kisah Jaka Tarub

“Kelak daerah sekitar sini akan bernama Glompong: “Gelo” (gela) nganti ompong!” — Syech Maulana Magribi —

Pada jaman Kerajaan Majapahit di daerah Tuban [Jatim] tersebutlah seorang tumenggung. Ia menjabat daerah itu dengan nama Tumenggung Wiladibya. Tumenggung Wiladibya mempunyai dua orang anak. Anak pertama seorang laki-laki bernama Raden Marsaid. Anak kedua seorang gadis bernama Putri Kidang Tlangkas.

Kedua anak tersebut memiliki banyak perbedaan, ibarat langit dan bumi orang mengatakan. Semenjak beranjak dewasa Raden Marsaid mempunyai kegemaran mencuri, merampok, dan mengganggu hak milik orang. Jalan kehidupannya menjadikan Raden Marsaid sebagai sosok perampok yang disegani. Ia tak sering menganiaya bahkan membunuh mangsanya.

Suatu ketika Raden Marsaid bertemu dengan seorang wali. Sang Wali inilah yang menjadikan Raden Marsaid jera. Ia bertobat. Setelah bertobat, oleh Sang Wali ia diperintahkan untuk bertapa. Setelah selesai bertapa Raden Marsaidpun menjadi seorang wali. Di waktu kemudian ia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng.

Putra kedua Tumenggung Wiladibya lembut tingkah lakunya. Sopan ia bertingkah, santun dalam bertutur kata. Ia disebut Putri Kidang Tlangkas. Mengapa? Semenjak beranjak dewasa Putri Kidang Tlangkas mempunyai kebiasaan mengembara. Ia rela meninggalkan keputren hanya untuk mencari pengalaman di dunia luar. Ia rela meninggalkan semua kemewahan yang ada di keputren.

Suatu ketika Putri Kidang Tlangkas mengembara. Ia berjalan menuju matahari terbenam. Tak ada sedikitpun bekal yang dibawa Putri Kidang Tlangkas. Setiap kali merasa lelah, ia berhenti untuk beristirahat. Bila terasa lapar ia memakan apa yang ditemuinya  di perjalanan. Ia berjalan terus tanpa memikirkan ke mana tujuan akhirnya.

Sampailah ia di suatu pegunungan di pesisir pantai selatan. Melihat keindahan tempat tersebut sukalah hati Putri Kidang Tlangkas. Terpikir dalam benaknya untuk tinggal di daerah itu. Setelah teguh hatinya, ia mencari tempat untuk berlindung dari terik matahari dan hujan. Di bawah batu yang menjulang dan di tepi kali yang jernih ia menetap. Hingga sekarang tempat ia-menetap dikenal dengan sebutan Song Putri.

Song Putri, Glompong

Tidak jauh dari tempat tinggal Putri Kidang Tlangkas, tersebutlah seorang alim yang melakukan semedi. Pada saat yang hampir bersamaan ia berada di daerah itu. Orang alim tersebut dikenal bernama Syeh Maulana Maghribi. Tak seorangpun dapat menceritakan siapa sebenarnya ia dan kapan ia datang.

Sepengetahuan masyarakat setempat, sampai saat ini di sisi barat Song Putri terdapat sebuah petilasan yang dijaga oleh pohon beringin. Konon, seorang wali menggunakan tempat tersebut untuk bertapa. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Tapan, yang mempunyai arti “tempat bertapa”.

Bertahun-tahun Putri Kidang Tlangkas dan Syeh Maulana Maghribi menetap di daerah itu. Walau mereka saling berdekatan, mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka hanya berteman dengan alam, melakukan kehendak hati masing–masing. Mereka tak saling menghiraukan walau mereka tahu.

Namun keanehan datang. Tanpa disadari Putri Kidang Tlangkas mengandung. Ia tidak tahu siapa yang telah memberikan janin pada dirinya. Karena Putri Kidang Tlangkas juga bukan orang sembarangan, ia-pun segera tahu siapa yang telah memberinya bibit kasih.

Putri Kidang Tlangkas segera mendatangi pertapa di dekatnya. Pertapa itu tak lain Syeh Maulana Maghribi. Sesampai di tempat Syeh Maulana Maghribi, ia segera mengutarakan maksud hatinya. Putri Kidang Tlangkas mengetahui: tanpa menjamahpun Syeh Maulana Maghribi dapat menitiskan benih kasihnya lewat jalan ghaib. Tetapi sayang, Syeh Maulana Maghribi tidak mau mengakui. Ia merasa tak pernah bertatap muka apalagi menjamah Putri Kidang Tlangkas. Ia pun berkeyakinan itu bukan anaknya. Sebagai bukti ia tidak menghamili Putri Kidang Tlangkas, ia membetot kelaminnnya untuk diberikan kepada anak tersebut bila nantinya lahir.

Sumber Air di sekitar Song Putri

Putri Kidang Tlangkas tetap bersikukuh bahwa bayi yang dikandungnya adalah anak Syeh Maulana Maghribi. Tapi ia menerima kelamin Syeh Maulana Maghribi lalu dibawa pulang. Dalam hatinya berkata: bila anaknya kelak lahir akan diserahkan kepada Syeh Maulana Maghribi. Sementara kelamin yang dibawanya akan ia-jadikan jimat/senjata untuk anaknya nanti. Kelamin Syeh Maulana Maghribi kemudian menjadi senjata sumpitan. Sumpitan tersebut lebih dikenal dengan nama Tulup Sangkuh.

Hari yang dinantipun tiba. Putri Kidang Tlangkas melahirkan seorang bayi laki-laki. Setelah merasa anak tersebut siap ia-tinggalkan, Ia menyerahkannya kepada Syeh Maulana Maghribi. Ia merasa bahwa Syeh Maulana Maghribi wajib bertanggung jawab pada anak tersebut. Putri Kidang Tlangkas menyerahkan anaknya bersama dengan kelamin Sang Syeh yang sudah berbentuk sumpitan.

Setelah selesai urusannya dengan Syeh Maulana Maghribi, Putri Kidang Tlangkas kemudian pergi. Ia tidak kembali ke Song Putri melainkan melakukan pengembaraan. Ia berjalan menuju matahari terbenam. Untuk selanjutnya tak seorangpun tahu kemana arah tujuan Putri Kidang Tlangkas.

Akan halnya dengan Syeh Maulana Maghribi, ia merasa keberatan dengan beban tanggung jawabnya. Ia kebingungan bagaimana ada seorang anak bersamanya.  Ia tidak tahu kepada siapa akan memberikan anak tersebut untuk diasuh. Akhirnya ia bersemedi: mencari tahu siapa yang bisa merawat bayinya.

*******

Di sebelah timur tempat Syeh Maulana Maghribi bertapa adalah daerah yang banyak ditemui padi gagan. Di daerah ini padi gaga tumbuh subur tetapi belum banyak orang yang menetap dan tinggal di sana. Karena banyak dan suburnya padi gaga di sana sampai sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Gagan.

Di daerah Gagan tersebutlah suami-istri yang sedang menunggu kelahiran putranya. Kebahagiaan terlihat di wajah mereka. Sebentar lagi anak yang mereka idam-idamkan selama ini lahir. Hari bahagia pun tiba. Sang istri melahirkan seorang bayi yang mungil. Betapa gembiranya hatinya. Ditimangnya bayi tersebut dengan belaian kasih sayang. Dalam benak suami-istri itu terbersit harapan akan ada penerus mereka di kelak kemudian hari.

Kebahagiaan yang mereka harapkan ternyata tidak berlangsung lama. Anak yang mereka idamkan ternyata berumur pendek. Atas kehendak Ilahi anak tersebut meninggal. Betapa sedih dan berduka keduanya. Apa mau dikata, mereka berencana Tuhan berkehendak lain. Akhirnya anak yang belum genap menghirup udara dunia tersebut dikuburkan. Ia dikuburkan di Pekuburan Gagan.

Di Tapan, Syeh Maulana Maghribi mendapat wangsit bahwa di Gagan ada bayi yang meninggal. Ia kemudian membawa anak Putri Kidang Tlangkas ke sana. Ia berharap anak tersebut bisa menggantikan seorang anak yang meninggal. Sebelum ia meninggalkan pertapaannya, ia berucap, ”Kelak daerah sekitar sini akan bernama Glompong:Gelo” (gela) nganti ompong, kecewa sampai ompong, karena sekian lama aku bertapa tidak mendapat wahyu. Orang daerah sini akan lebih sukses bila mereka merantau.”

Tak selang berapa lama Syeh Maulana Maghribi menuju Gagan. Tapi ia tidak menuju rumah suami-istri yang ditinggal mati anaknya itu, namun menuju pekuburan. Sesampai di sana, ia meletakkan si bayi di dekat kuburan anak suami-istri itu. Hanya bersama sumpitnya bayi tersebut ditinggal begitu saja oleh Syeh Maulana Maghribi. Tak ia-hiraukan tangisan sang bocah. Syeh Maulana Maghribi lalu pergi, bukan ke pertapaannya. Ia melanjutkan perjalanan melanglang buana.

Mendengar ada tangisan bocah di sekitar pekuburan suami istri  itu kaget. Dalam hati mereka bertanya-tanya: “Tangisan bayi siapakah yang terdengar itu? Mungkinkah itu tangisan anaknya?” Dengan keraguan merekapun mendekati arah tangisan sang bayi. Setelah dekat dengan kuburan anaknya, betapa kagetnya mereka. Seorang bocah tergeletak begitu saja di dekat kuburan anaknya. Mereka juga tahu bahwa seseorang sengaja meletakkan bayi itu di sana. Akhirnya mereka mengambil anak itu. Tak lupa mereka juga membawa sumpit yang tergeletak di samping sang bayi. Bayi tersebut dirawat dan dijadikan pengganti anak mereka yangt telah tiada.

Resan yang berada di Tapan, Glompong: petilasan Syech Maulana Magribi

Berita tentang anak temuannya segera tersebar ke masyarakat setempat. Mereka berduyun-duyun ingin melihat seperti apa anak tersebut. Karena begitu banyaknya masyarakat yang akan melihat menyebabkan tak ada tempat untuk mereka. Dengan inisiatif sendiri mereka membuat rumah alakadarnya. Rumah yang mereka buat mirip sekali dengan tarub. Akhirnya anak temuan suami-istri itu dikenal dengan nama Jaka Tarub.

Hari berganti menjadi bulan, bulan pun berganti tahun. Jaka Tarub tumbuh menjadi sosok pemuda tampan dan gagah perkasa. Semenjak belia Jaka Tarub mempunyai kegemaran berburu binatang. Setiap hari setiap waktu ia-gunakan untuk mencari hewan buruan. Setiap kali ia berburu tak pernah menemui kegagalan. Itu semua tak lain karena senjata yang ia gunakan. Jaka Tarub menggunakan sumpitnya yang bernama Tulup Sangkuh.

Suatu ketika, saat Jaka Tarub melakukan perburuan, ia melihat seekor burung perkutut yang berwarna putih bulunya. Dalam hati pemuda Tarub ingin sekali memilikinya. Dengan tekad yang bulat akhirnya ia memburu perkutut itu. Namun ada keanehan dalam diri perkutut tersebut. Setiap kali didekati si perkutut terbang menjauh. Bila Jaka Tarub berhenti, si perkutut mendekat. Hal ini semakin membuat Jaka Tarub penasaran.

Tak sadar Jaka Tarub mengikuti si perkutut sampai jauh meninggalkan rumahnya. Karena kebulatan tekad untuk mendapatkan burung itu, iapun tidak menghiraukannya. Ia terus mengejar. Sampailah ia di pegunungan sebelah barat jauh dari rumahnya.

Karena terlalu jauh mengejar, Jaka Tarub lelah. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Melihat Jaka Tarub berhenti, si perkutut mendekati dan manggung (berkicau). Karena selama perburuannya Jaka Tarub belum pernah sekalipun mendengar ocehan si burung, maka iapun berkata,”Betapa merdunya suaramu wahai perkutut! Karena kemerduan suaramu ini, maka kelak daerah ini akan dikenal dengan nama: Manggung.”

Setelah selesai  beristirahat, pelan-pelan ia mendekati si perkutut dengan maksud akan menangkapnya. Seperti tahu tujuan JakaTarub, si perkutut terbang menjauh. Burung perkutut terbang menyusuri pegunungan itu. Jaka Tarub tak menyerah sampai di situ, ia terus mengejarnya.

Jalan yang terjal tak ia-hiraukan. Tetapi sekuat apapun Jaka Tarub berlari, karena jalan yang menanjak, ia kembali kelelahan. Sembari beristirahat ia berucap,”Wadhuh, boyokku, lha mbokya leren dhisik (aduh, pinggangku, aku akab beristirahat dulu)!” Dari ucapan Jaka Tarub ini maka sampai sekarang daerah itu dikenal dengan nama desa Boyo.

Jaka tarub merasa siap melakukan perburuan berikutnya. Ia berangkat berburu lagi. Dalam hatinya Jaka Tarub bertekad tidak boleh gagal mendapatkan burung itu. Tekad Jaka Tarub justru semakin menjauhkannya dari rumah. Ia tak menyadari akan hal itu. Ia terus dan terus mengejar. Tak terasa sampailah ia di pegunungan yang sangat lebat hutannya. Ada keraguan dalam diri Jaka Tarub. Akankah ia masuk kedalam hutan yang begitu lebat hanya untuk mengejar seekor burung?

Sebelum kebimbangan Jaka Tarub hilang, ia mendengar tawa gadis yang sedang bercengkerama. Keingintahuannya membuat Jaka Tarub sedikit melupakan buruannya. Rasa kecewa tak bisa mengejar perkutut putih sedikit terobati. Pelan tapi pasti Jaka Tarub mendekati arah suara. Dalam hati Jaka Tarub bertanya-tanya siapakah gerangan yang bercengkrama dalam hutan yang lebat ini? Sebangsa peri ataukah bidadari mereka itu, ataukah ada kehidupan manusia di dalam hutan sana?  

Semakin masuk ke dalam hutan, semakin jelas suara mereka terdengar. Betapa kaget Jaka Tarub setelah melihat apa yang ada di depannya. Di dalam hutan yang sunyi itu ada telaga yang sangat jernih airnya (orang-orang sekarang menyebutnya Telaga Margido). Di telaga yang jernih itu ada tujuh gadis yang sedang mandi dan bermain. Tak henti-hentinya mereka tertawa cekikikan.

Dasar Jaka Tarub seorang pemuda yang suka ingin tahu, ia pun pelan-pelan mendekati mereka. Di tempat agak terlindung Jaka Tarub asyik memperhatikan gadis-gadis itu mandi. Mata liarnya melihat onggokan pakaian mereka. Pikiran nakal Jaka Tarub muncul. Perlahan ia mendekati pakaian-pakaian itu dan mengambil salah-satunya. Pakaian tersebut dibawanya pulang.

Jaka Tarub pada dasarnya titisan orang yang sakti. Dalam sekejap ia mampu membawanya pulang kemudian menyembunyikannya di lumbung belakang rumah. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi bila pakaian si gadis ia-sembunyikan. Kemudian ia kembali ke telaga. Agak dibuat-buat Jaka Tarub berdehem. Kaget mendengar ada suara orang berdehem gadis- gadis itu langsung menyambar pakaian masing-masing. Tapi mereka kebingungan, salah satu dari mereka masih sibuk mencari pakaiannya. Karena tak jua menemukan mereka pun berkata, ”Maafkan kami Nawang Wulan, kami harus segera pergi dari sini. Kami tidak bisa membantu mencari bajumu yang hilang. Sebab jika tak segera pergi, kita tidak bisa kembali ke kahyangan.” Akhirnya mereka meninggalkan seorang teman yang sedang kebingungan. Mereka segera terbang ke angkasa hingga hilang dari pandangan. Mendengar percakapan mereka Jaka Tarub menjadi tahu keadaan. Ia sadar dengan siapa ia bermain-main. Nasi sudah jadi bubur begitu pikir Jaka Tarub. Dalam hati ia berjanji untuk menyembunyikan semua ini selamanya.

 Tanpa merasa bersalah Jaka Tarub mendekati gadis yang sedang kebingungan itu. Dengan berpura-pura tidak tahu ia mendekatinya. Melihat ada seseorang menghampiri betapa bingungnya gadis itu. Ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia sedih karena kehilangan pakaiannya.

Setelah bertegur sapa akhirnya Dewi Nawang Wulan menceritakan apa yang telah terjadi. Ia mengatakan bahwa semua temannya telah pergi meninggalkannya. Ia pun menceritakan bahwa dirinya dan teman-temannya adalah bidadari dari kahyangan. Mereka selalu datang ke Telaga Margido untuk mandi. Bagi Jaka Tarub sebenarnya telah mengetahuinya, karena ia telah menyaksikan kesemuanya itu.

“Malang benar nasibmu, Dewi, sudikah kiranya Engkau menerima pertolongan dariku?” tanya Jaka Tarub ragu.

Dewi Nawang Wulan yang masih kebingungan akhirnya mengangguk setuju. Ia  menerima uluran tangan Jaka Tarub. Akhirnya ia pun mengikuti Jaka Tarub pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah betapa kaget orang tua Jaka Tarub. Mereka kaget melihat kepulangan anaknya. Biasanya Jaka Tarub pulang dengan membawa hewan buruan. Tetapi sekarang ia membawa seorang gadis yang sangat jelita. Jaka Tarub menceritakan apa yang terjadi untuk menghilangkan rasa kaget orang tuanya.

Dari hari ke hari mereka hidup bersama. Setelah sekian lama mereka bersama, tumbuhlah rasa saling suka di antara keduanya. Orang tua Jaka Tarub mengetahui akan hal itu. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan merekapun dinikahkan. Dari buah perkawinan mereka, lahirlah seorang anak perempuan. Jaka Tarub memberi nama Nawangsih untuk putrinya yang cantik. Mereka sangat berbahagia dengan datangnya sang buah hati.

Kebahagiaan itu terjaga sebelum sesuatu datang terjadi. Suatu ketika Dewi Nawang Wulan akan pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Seperti biasa sebelum pergi ia menanak nasi. Ia, setiap kali akan pergi ke sungai, berpesan kepada Jaka Tarub, “Kakang Jaka Tarub, aku akan ke sungai. Tolong sambil momong, Kakang menunggui nasi yang aku masak! Tapi sekali-kali jangan kamu buka tutup kukusannya!” kata Dewi Nawang Wulan sembari berangkat.

Mendengar pesan dari istrinya Jaka Tarub pun mengiyakan. Tapi dalam hati Jaka Tarub bertanya-tanya. Kenapa setiap hari pesan istrinya selalu sama? Rasa ingin tahu membuat Jaka Tarub lupa akan pesan istrinya. Ia tak memikirkan apa nanti yang akan terjadi bila ia melanggar pesan itu. Perlahan-lahan ia mendekati tempat istrinya menanak nasi. Dengan hati-hati ia membuka tutup kukusan. Ia ingin melihat apa yang dimasak istrinya sehingga pesannya selalu sama. Betapa kaget Jaka Tarub melihat apa yang dimasak istrinya. Ternyata sang istri hanya memasak segelintir gabah. “Pantas padi di lumbung tak pernah habis, setiap memasak hanya segelintir,” gumamnya sembari menutup kukusan. Heran dan tak percaya bercampur-baur dalam benak Jaka Tarub. Memang setelah hidup bersama dengan Dewi Nawang Wulan padi di lumbung tak habis-habis. Mungkin karena istrinya seorang bidadari, sehingga ia bisa menanak nasi walau hanya dengan segelintir gabah.

Sepulang dari mencuci, Dewi Nawang Wulan merasa ada yang aneh pada dirinya. Ia langsung menuju dapur melihat apa yang terjadi. Terkejut dan marahlah Dewi Nawang Wulan. Nasi yang ditanaknya tidak bisa matang. Ia tahu suaminya melanggar pesannya. Semua itu membuat kesaktian Dewi Nawang Wulan hilang.

“Oh, Kakang Jaka, kenapa engkau melanggar pesanku? Hilang sudah semua kesaktianku! Ketahuilah Kakang, aku harus bekerja keras untuk semua ini! Karena perbuatanmu ini, Kakang harus membuatkan aku lesung, tampah, dan alu!” kata Dewi Nawang Wulan.

Penyesalan tidak akan pernah datang di awal. Jaka Tarub menyadari semua kesalahannya. Iapun segera membuatkan semua peralatan yang diminta istrinya. Ia sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya. Hingga istrinya harus bekerja keras untuk melakukan kewajibannya. Sebenarnya padi di lumbungnya tidak habis dimakan dalam belasan panen. Namun karena setiap hari ditumbuk dan diolah, maka padi di lumbung cepat habis.

Suatu ketika, Dewi Nawang Wulan pergi ke lumbung untuk mengambil padi yang sudah menipis. Setelah padi diangkat terkejutlah ia. Dewi Nawang Wulan melihat sebuah buntalan. Dengan hati-hati ia membukanya. Ia termangu melihat isi buntalan itu. Ternyata isi buntalan itu adalah sebuah pakaian. Ia amati pakaian tersebut dengan seksama. Semakin terkejut Dewi Nawang Wulan setelah tahu bahwa pakaian itu adalah pakaiannya yang hilang di telaga dulu. “Kakang Jaka, kenapa Engkau lakukan semua ini?” ratapan Dewi Nawang Wulan pelan. Ia langsung mengenakan pakaian itu yang memang pas untuk dirinya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) dari Gunung Keruk yang melewati Glompong

Sekian lama Dewi Nawang Wulan berada di dalam lumbung membuat Jaka Tarub bertanya-tanya heran: “Apa yang sedang dilakukan istriku di dalam lumbung?” Belum hilang rasa herannya, ia terpaku melihat istrinya keluar dari lumbung dengan wujud yang lain. Setelah mengenakan pakaiannya Dewi Nawang Wulan kembali ke wujud aslinya: seorang bidadari. Dewi Nawang Wulan kemudian menghampiri suaminya yang masi termangu seraya berkata, ”Maafkan aku, Kakang, aku harus kembali ke Kahyangan. Di sanalah kehidupanku seharusnya.”

Jaka Tarub menatap dengan pandangan kosong ke arah istrinya. Ia sadar akan apa yang sedang terjadi. Ibarat pepatah sepandai-pandai tupai melompat, suatu ketika akan terjatuh juga. Inilah yang sedang terjadi pada Jaka Tarub sekarang.

“Oh, Dewi, apakah semua ini memang terjadi? Begitu besar kesalahanku! Aku sadar akan semua ini, tetapi, apakah tidak ada maaf untukku, Dewi?” Jaka Tarub memohon. “Ingatlah pada Nawangsih anak kita, Dewi!” lanjutnya.

“Kakang Jaka, sekian lama engkau menipu aku. Engkau tidak bisa menyembunyikan semua ini selamanya. Memang, aku sedih meninggalkan putriku. Sekali lagi maafkan aku, Kakang! Kehidupanku bukan di sini.  Tetapi aku akan menjalankan kewajibanku sebagai seorang ibu. Pesanku, bila malam tiba, bawalah putri kita ke pelataran depan rumah! Bakarlah ketan hitam, maka aku akan datang menyusuinya! Tetapi sekali-kali jangan pernah mengintip apalagi mendekat selama aku melaksanakan kewajibanku! Maka aku akan melaksanakan kewajibanku sampai anak kita dewasa. Sekali lagi, maafkan aku dan selamat tinggal Kakang Jaka Taru!” kata Dewi Nawang Wulan panjang. Setelah memeluk dan menciumi anaknya, Dewi Nawang Wulan segera terbang ke angkasa. Ia menuju ke Kahyangan dimana seharusnya ia tinggal. Tak pernah ia menoleh ke belakang.

“Dewi!” pekik Joko Tarub. Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya.

Setelah kepergian istrinya ke Kahyangan, setiap malam Jaka Tarub membawa anaknya ke pelataran depan rumahnya. Tak lupa ia membakar ketan hitam seperti apa yang dipesan Sang Dewi. Ia  kemudian meninggalkan anaknya untuk disusui Dewi Nawang Wulan. Ia tak berani mengintip apalagi mendekat. Jaka Tarub tak mau melakukan kesalahan yang ke sekian kalinya. Konon, Dewi Nawang Wulan melaksanakan kewajibannya hingga anaknya dewasa.

Setelah Nawangsih dewasa dan akan menikah, semua keperluan pernikahannya disediakan oleh sang ibu. Sampai sekarang dalam ritual pernikahan ada kembar mayang dan gagar mayang. Konon itu semua kiriman dari Dewi Nawang Wulan.

Mengenai Dewi Nawang Wulan yang kembali ke Kahyangan, ia tidak diterima oleh penghuni kahyangan. Karena telah hidup dalam kehidupan manusia. Ia telah menikah dan melahirkan anak manusia. Sehingga ia tidak diperbolehkan tinggal di Kahyangan lagi. Dewi Nawang Wulan menerima semua itu dengan satu syarat/perjanjian. Ia meminta sepertiga pengikut yang akan menjadi pengawalnya. Para bidadaripun menyetujuinya. Akhirnya Dewi Nawang Wulan pergi dari kahyangan. Ia menuju laut selatan dan menetap di sana. Hingga sekarang Dewi Nawang Wulan lebih dikenal dengan nama Ratu Laut Selatan atau Nyai Roro Kidul.

Meskipun kisah Jaka Tarub ada bermacam-macam versi tetapi masyarakat Glompong percaya bahwa Jaka Tarub pernah hidup di daerah sekitarnya.

Sampai sekarang di daerah Gagan, Desa Pengkol,  Kapanewon Nglipar Gunungkidul, ada pekuburan yang lebih dikenal dengan sebutan Sarean Jaka Tarub.

[oleh: Dukuh Gowang]

Tinggalkan Balasan